Sharpe Ratio – Indikator Yang Ampuh?

Sharpe ratio sering digunakan para Analyst untuk mengukur bagus atau tidaknya suatu Fund, Reksadana misalnya. Suatu Fund yang memiliki Sharpe Ratio yang tinggi konon disebut sebagai Fund yang baik, karena memiliki risk adjusted return yang baik (tinggi). Peringkat Reksadana pun sering menggunakan Sharpe Ratio sebagai salah satu faktor penentu. Masalahnya, penghitungan risiko Reksadana dalam formula Sharpe Ratio ini menggunakan standar deviasi. Penggunaan standar deviasi bisa sangat merugikan Fund yang menghasilkan return yang tinggi. Coba bayangkan:

Return Fund A / bulan : 1%, 1%, 1%, 1%, 1%,1%,1%,1%,1%,1%.

Return Fund B / bulan: 1%, 2%, 3%, 5%,1%,7%,2%,5%,8%,2%.

Total return Fund A 12 bulan = 12.68%

Total return Fund B 12 bulan = 42.05%

Fund A Sharpe Rationya (tak terhingga) jauh lebih tinggi dari Fund B (hitung saja sendiri), walaupun returnnya jauh dibawah Fund B.

Akibatnya, berdasarkan Sharpe Ratio ranking Fund A diatas Fund B.

Sharpe Ratio bisa menghukum funds yang kinerjanya tinggi. Akibatnya, banyak yang mencari indikator alternatif, misalnya Jensen Alpha, Sortino dsb.

10 Responses

  1. bagaimana kalau ternyata fund A itu kelas fixed interest sementara fund B itu kelas equity?

    kalau memang kedua funds tsb berada dlm kelas yg sama, mis kelas equity. berarti manajer fund B itu malas mengoptimalkan portfolio utk mendptkan tangency port.
    jadi fair enough, kalau malas ya nilainya jelek.

    skenario lain, ada kemungkinan komponen equitynya banyak dipasang di Indo yg stdev tinggi. boleh jadi aturan 85% Indo -15% asing bisa menjerumuskan fund Indo ke Sharpe ratio yg rendah.

  2. jadi utk orang awam bagaimana memilih reksadana yang tepat ?

  3. satu lagi Pak, kalau untuk investor kaya, fund B is okay jadi Sharpe ratio ga begitu relevant. cheers.

  4. Kalau anda perhatikan dalam contoh ini, fund B tidak pernah negatif dan tidak pernah kalah dari fund A, tapi secara Sharpe Ratio ranking kalah dari A. Sharpe Ratio penalized funds yang memiliki upside volatility yang tinggi, padahal yg lebih relevan ke risiko adalah downside volatility (rugi misalnya).

  5. Saya coba olah ulang di excel, datanya kurang 2 bulan. Anyway, kalau dipricing bulanan agak susah melihat volatility, terutama low pointnya. Apalagi kalau lagi bear market, kemungkinan month-end/average price bisa selalu lebih besar dari month-end/average sebelumnya. Low pointnya bisa ngumpet di hari-hari tertentu.

    Saya setuju dengan risiko adalah downside volatility. Tapi menurut saya, dari 5% return turun ke 1% itu juga risiko dimana kalau kita berada di bulan ke 5 return yg 42% di bulan ke 12 itu mungkin tidak akan pernah diharapkan. Atau dgn kata lain ada perasaan yg pesimistis. Begitu juga, dari 7% ke 2% dan dari 8% ke 2%. Krn ada kecenderungan trend yg menurun.

    Investor yg selalu setia dgn fund B dari bulan ke bulan itu boleh dikatakan seorang investor yg berani tanpa perasaan pesimis dan akhirnya bisa menikmati holding period return yg 42%.

    Mungkin Sharpe ingin membuka pandangan suatu risiko saat waktu sedang berjalan.

  6. maksudnya kalo lagi bull market, kemungkinan month-end/average price bisa selalu lebih besar dari month-end/average sebelumnya sementara low pointnya bisa ngumpet di hari-hari tertentu di tengah bulan.

  7. Sharpe sendiri disalah satu interview acknowledged limitation dari ratio ini. The point is, seperti di hal2 investment atau trading lainnya, stand alone indicator tidak cukup. Harus di complement oleh indicators lainnya. Ini salah satu bahan CFA level III dimana partisipan harus mengetahui kekuatan maupun kelemahan beberapa indikator. Coba google: Sortino, , Jensen, Treynor, semi-variance risk etc untuk bahan referensi tambahan.

  8. Iya benar, tapi pada akhirnya HPY yg dilihat. Waktu saya msh study MAppFin, saya pernah lihat soal-soal CFA di bukunya Reilly, ternyata stlh saya baca lagi yg bapak maksud itu ada di chapter terakhir. Saya tertarik ingin ambil CFA, tp kondisi saya skrg lebih ke CFP. Pada dasarnya saya menyeleksi dan menjual product yg dikelola para CFA :-). Biar Sharpe-nya bagus kalau HPY tidak desirable, client bisa mencak-mencak krn walau dijelaskan soal Sharpe-pun mrk tidak peduli.

    Tapi teori para planner bhw dlm jangka panjang (15-35 tahun) ada kepastian bahwa suatu fund aggressive apapun akan mencapai return yg memuaskan itu masuk akal tidak? Mengingat randomness itu selalu bergerak dengan trend yg meningkat dlm jk panjang. Dengan demikian, switching ke fund lain sebenarnya tidak perlu dengan asumsi HPY dlm jangka panjang pada dasarnya sama dengan keahlian fund managers yg relatif sama. Dengan kata lain, untuk apa switching fund, tunggu saja sampai belasan tahun atau sampai tutup.

  9. @Invest Tool, on March 5th, 2008 at 2:06 pm Said:

    jadi utk orang awam bagaimana memilih reksadana yang tepat ?
    =======

    tergantung orang awam itu bila portfolionya cuma satu2nya dia bisa pilih rangking reksadana yg indikatornya berdasarkan sharpe
    tapi kalo portfolionya banyak pilih saja yang pakai indikator treynor

    karena sharpe menghitung risiko total sedangkan treynor menghitung risiko sistematik only.

  10. Diskusi yg menarik; Sharpe ratio yg jelas lebih mudah menghitungnya dari pada metode yg lain.Tapi itu relatif.Di Bloomberg yg dihitung hanya sharpe ratio, juga di infofesta jadi bisnis yg baik; tapi memang tidak bisa menjelaskan ‘keruwetan’ yg didiskusikan.Orang awam yg penting hasil fund B lebih besar cashnya dari pada fund A; dalam keseharian agak sulit membedakannya.tq

Leave a reply to ANONIM Cancel reply